POSMETRO MEDAN–Pematang Siantar, Sidamanik, Pematang Siantar, pernah menjadi pusat kejayaan agraria. Dulu, deru lokomotif mengangkut batang-batang tebu menuju pabrik, sawah berderet hijau, dan buruh bekerja di bawah bendera kolonialisme.
Tebu kala itu bukan sekadar tanaman, tetapi komoditas emas yang menempatkan Nusantara dalam peta perdagangan gula dunia.
Kini, di lereng dingin kebun teh Sidamanik, gema sejarah itu kembali bergaung—bukan dari mesin tebu, melainkan dari suara protes warga. Rencana konversi kebun teh menjadi perkebunan sawit memicu pertarungan baru: antara memori kolektif, identitas agraria, dan hasrat keuntungan jangka pendek.
Dari Gula ke Teh, Kini Sawit
Sejarah panjang agraria di Sumatera Utara mencatat perputaran komoditas: dari tebu yang diatur UU Gula 1870 dan mencapai puncak kejayaan 1930-an, runtuh akibat depresi ekonomi dan perang dunia, hingga nasionalisasi pabrik gula pada 1957 dan program TRI 1975. Sidamanik kemudian dikenal sebagai kawasan teh, warisan kolonial yang masih bertahan.
Namun, sejak 2022, wacana konversi kebun teh ke sawit mencuat. Kunjungan DPRD Sumut ke lokasi hingga pernyataan penolakan pada 2025 memperlihatkan bahwa isu ini bukan sekadar persoalan teknis pertanian, melainkan arena politik komoditas.
Bahasa Politik: Isi Lahan Kosong
Seorang anggota DPRD Sumut yang enggan disebutkan namanya menyebut wacana ini bukan konversi, melainkan "penanaman di lahan kosong". "Bukan konversi kebun teh, tapi istilahnya isi lahan kosong dengan sawit," ujarnya.
Bahasa politik yang manis itu, menurut sejumlah pengamat, hanyalah pergantian istilah. Hakikatnya tetap sama: sawit menggantikan teh, ibarat orang yang berganti baju tanpa mengubah siapa dirinya.
Tekanan Ekonomi Global