POSMETRO MEDAN, Medan - Di sore yang teduh di Jalan Sei Seguti Medan, kursi-kursi kayu di kafe Teater Rumah Mata (TRM) mulai terisi penuh oleh Para seniman, aktor, sutradara, mahasiswa, hingga wajah-wajah lama dari Taman Budaya Sumatera Utara kembali berkumpul.
Diskusi bulanan yang telah menjadi ritual TRM kembali digelar, kali ini mengusung tema "Antara Aktor dan Penonton."
Pertanyaan yang mengambang sejak awal perbincangan sederhana, namun menggigit, mengapa teater di Medan kerap tak mampu bertahan lama.
S Metron Masdison, seniman asal Sumatera Barat yang hadir sebagai narasumber, tak segan menyodorkan kritik. Menurutnya, panggung teater di Sumut sering hanya bergerak pada ruang apresiasi sesaat festival atau lomba dua tahunan tanpa kesinambungan.
"Begitu para seniman pulang dari luar daerah, usai tampil, semua seolah berhenti.
Bahkan ketika dana miliaran rupiah turun, hasilnya tetap tidak berkelanjutan," ujarnya, disambut anggukan para hadirin.
Diskusi yang berlangsung pada Sabtu, (20/9/2025) Pukul 16.30-22 WIB itu memeriksa luka lama. Ketiadaan strategi kultural yang mampu menumbuhkan ekosistem teater S Metron Masdison menegaskan, tanpa dukungan nyata dari kebijakan kebudayaan maupun visi DPRD, festival yang mestinya menjadi urat nadi pertunjukan hanya berhenti pada pembelian alat, bukan penciptaan ruang hidup seni.
"Kalau ingin teater bertahan, bangunlah festival berkesinambungan.
Seribu panggung setahun, biarkan industri pertunjukan benar-benar bergerak," tandasnya.
Sementara itu, salah satu pembicara mengangkat dimensi filosofis. Baginya, seorang aktor adalah utusan semesta yang membawa pesan kebaikan.