POSMETRO MEDAN, Medan-Delapan puluh tahun negeri ini mengumandangkan kata "merdeka". Namun, di lorong-lorong kota dan sudut kampung, kemerdekaan itu kerap terasa sebatas slogan. Bendera memang berkibar, upacara berlangsung khidmat, tetapi perut rakyat tetap keroncongan, dan dompet kian tipis.
Harga pangan terus melonjak, lapangan kerja semakin menyempit, dan pengangguran mengintai di setiap persimpangan. Di tengah limpahan kekayaan alam, rakyat justru menjadi kuli di tanah sendiri. Ironi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: kemerdekaan ini sejatinya untuk siapa?
Adam W, warga yang puluhan tahun bergelut dengan masyarakat bawah, menegaskan, "Secara fisik kita memang tak lagi dijajah, tapi secara ekonomi dan kebijakan, kita masih dikurung. Kaum penjajah menari-nari, kita yang menangis-nangis."
Data Badan Pusat Statistik membuktikan, ketimpangan pendapatan semakin menganga. Segelintir orang mengeruk keuntungan besar dari sumber daya negeri, sementara jutaan rakyat hanya mengandalkan upah harian yang tak mencukupi kebutuhan dasar. Pepatah lama kembali terasa relevan: *Rakyat mati kelaparan di lumbung padi.*
Merdeka sejati bukan sekadar bebas dari penjajahan bersenjata, tetapi juga bebas dari kelaparan, pengangguran, dan ketidakadilan. Tanpa itu semua, kata "merdeka" tak lebih dari hiasan di baliho dan materi pidato seremonial.(Reza)