POSMETRO MEDAN,Medan – Kabut tipis yang menyelimuti Sidamanik bukan sekadar embun pagi. Ia ibarat tirai yang menyimpan kisah panjang: cerita kebun teh yang tumbuh sebagai saksi sejarah sekaligus pesan persatuan yang diwariskan para raja Simalungun.
Dalam peringatan Hari Jadi ke-154 Kota Pematangsiantar, gema pesan itu kembali teringat. Dari tanah pengasingannya di Bengkalis, RajaSang Naualuh Damanik pernah menitipkan pesan terakhir: "Bersatulah rakyat Simalungun." Seruan itu kini seakan menyatukan masa lalu dan masa kini dalam satu napas kebersamaan.
Sidamanik: Teh dan Ingatan Kolektif
Bagi masyarakat Simalungun, Sidamanik bukan sekadar hamparan hijau. Ia adalah pusaka yang melahirkan identitas. Setiap pucuk teh yang dipetik menyimpan serpihan kisah tentang keringat petani, harmoni alam, dan kebersamaan yang membentuk wajah kampung.
Sejak masa kolonial hingga hari ini, kebun teh Sidamanik menjadi ruang hidup: tempat orang tua bercerita, anak-anak berlari, hingga generasi muda belajar mengenal tanah leluhurnya.
Raja Sang Naualuh: Dari Siantar ke Bengkalis
RajaSang Naualuh Damanik, penguasa ke-14 Kerajaan Siantar, dikenal sebagai simbol perlawanan sekaligus pemersatu rakyat. Pada 1908 ia diasingkan ke Bengkalis. Namun, di tanah jauh itu pun ia tetap menyuarakan pesan abadi: rakyat Simalungun harus bersatu.
Pesan itu kembali dihidupkan pemerintah kota melalui ziarah ke makam Sang Naualuh. Bukan sekadar ritual, tetapi upaya merajut ingatan bersama bahwa persatuan adalah warisan paling berharga.
Siantar dalam Jejak Sejarah
Hari Jadi Kota Pematangsiantar yang diperingati setiap 24 April dipilih bertepatan dengan tanggal lahir Sang Naualuh. Pilihan ini bukan kebetulan, melainkan penegasan bahwa denyut kota lahir dari darah, air mata, dan kebijaksanaan seorang raja yang mendambakan persatuan rakyatnya.