Dari VOC hingga Tanam Paksa, Jalan Panjang Komoditas Nusantara

Administrator - Sabtu, 13 September 2025 09:25 WIB
IST
Simbol merek dagang VOC.

POSMETRO MEDAN,Medan– Di balik harum teh, manis gula, dan kuatnya warna nila yang pernah menguasai pasar Eropa, tersimpan kisah panjang Nusantara yang berada di bawah bayang-bayang kongsi dagang terbesar dunia: VOC.

Didirikan pada 1602 dengan modal awal lebih dari enam juta gulden, VOC bukan sekadar perusahaan dagang. Ia menjelma menjadi kekuatan besar yang mampu mengguncang tatanan politik Asia Tenggara.

Berbekal armada kapal, meriam, dan strategi "pecah belah", VOC menyingkirkan Portugis dari Maluku dan menguasai jalur perdagangan rempah. Dari Maluku mereka membawa cengkih, dari Jawa mereka mengatur tanam kopi, nila, hingga tebu.

Namun, Sumatra Timur pada masa itu belum menjadi perhatian utama. Komoditas besar Nusantara yang mengalir ke Eropa masih didominasi Maluku dan Jawa. Nama Deli baru muncul kemudian, seiring hadirnya sistem perkebunan modern pada abad ke-19.

VOC yang awalnya hanya berdagang perlahan berubah menjadi penguasa. Kerajaan-kerajaan lokal dipaksa menyerahkan hasil bumi dengan harga yang ditentukan sepihak. Gula tebu dari petani Jawa, misalnya, hanya boleh dijual kepada VOC. Begitu pula kopi, yang bibitnya didatangkan dari luar negeri lalu dipaksakan tumbuh di tanah subur Jawa.

Setelah lebih dari dua abad berkuasa, VOC akhirnya tumbang. Pada 1800, perusahaan raksasa itu bangkrut dengan meninggalkan utang sebesar 135 juta gulden. Namun, runtuhnya VOC bukan berarti berakhirnya kolonialisme Belanda. Justru dari kebangkrutan itu lahirlah babak baru: sistem tanam paksa atau *cultuurstelsel* (1830–1870).

Di bawah Gubernur Jenderal Van Den Bosch, rakyat Jawa diwajibkan menanam tanaman ekspor—kopi, tebu, nila, dan lain-lain—di seperlima lahan desa.

Hasilnya harus diserahkan kepada pemerintah kolonial. Sebagai imbalannya, mereka dibebaskan dari pajak tanah dan dijanjikan perlindungan bila gagal panen. Namun kenyataannya, rakyat sering dipaksa menanam lebih dari ketentuan, sementara kerugian akibat gagal panen harus ditanggung sendiri oleh petani.

Sistem tanam paksa ini menjerat seluruh lapisan. Dari bupati, camat, perangkat desa, hingga pedagang perantara ikut terlibat. Ribuan buruh tani bekerja di bawah pengawasan ketat, sementara hasil bumi terus mengalir ke pelabuhan, menyeberangi samudra, dan memenuhi gudang-gudang di Amsterdam.

Sejarawan mencatat, sistem tanam paksa menyelamatkan keuangan Belanda yang nyaris bangkrut, tetapi meninggalkan luka panjang di tanah jajahan. Dari sinilah benih sistem perkebunan modern tumbuh, bukan lagi sebatas kebun keluarga, melainkan mesin ekonomi yang terhubung langsung dengan pasar global.(Erni Tanjung)


Editor
: Administrator

Tag:

Berita Terkait

Sumut

Jejak Tanam Paksa dan Lahirnya Perkebunan Industri di Indonesia

Sumut

Dari Layar Angin ke Perkebunan Modern

Sumut

Sejarah dan Kearifan Kebun Teh Bah Butong Sidamanik, Akar dan Nilai yang Menghidupi Perkebunan

Sumut

Sidamanik: Jejak Teh, Peradaban dan Ancaman Konversi Lahan

Sumut

Bukan Sekadar Kunjungan: Ketika Legislator Membela Daun Teh

Sumut

Sehat dari Rempah Herbora Drink, Perjalanan Herbora Tea Menembus Pasar Dunia