POSMETRO MEDAN,Awal abad ke-20, deru lokomotif pengangkut tebu memecah kesunyian pedesaan Jawa. Buruh-buruh berpeluh mendorong gerobak penuh batang tebu menuju pabrik, sementara asap putih mengepul dari cerobong raksasa.
Hindia Belanda kala itu berada di puncak kejayaan manisnya: salah satu eksportir gula terbesar dunia. Namun, sejarah mencatat, kejayaan itu tidak abadi.
Pada 1930, lebih dari 179 pabrik gula beroperasi di Jawa dengan produksi menembus 3 juta ton per tahun. Sebagian besar diekspor ke pasar internasional, menjadikan Nusantara pilar utama industri gula global.
Tetapi hanya dalam hitungan dekade, kejayaan itu runtuh—tersapu depresi ekonomi 1929, perang dunia, dan perubahan kebijakan pascakemerdekaan.
Aktor di Balik Sejarah Gula
1. Pemerintah Kolonial Belanda – melalui Agrarische Wet (1870) dan Suiker Wet, membuka jalan bagi investor swasta untuk menguasai lahan.
2. Planters asing – pengusaha perkebunan yang mengendalikan modal, teknologi, hingga jaringan ekspor.
3. Buruh tani Jawa – tulang punggung industri, bekerja dalam sistem padat karya dengan upah minim.
4. Pemerintah RI pasca-1957 – menasionalisasi seluruh pabrik, tetapi kehilangan tenaga ahli setelah planters asing hengkang.
Catatan kronologisnya jelas: