POSMETRO MEDAN,Simalungun –Sejak berdiri pada 26 April 1983 dengan nama PT Inti Indorayon Utama (INRU), perusahaan pulp yang digagas Sukanto Tanoto bersama mitra asing dan keluarga Cendana ini terus menuai kontroversi.
Pabrik yang mulai beroperasi pada 1989 di hulu Sungai Asahan, Sumatera Utara, sejak awal dituding mencemari lingkungan, merusak hutan, serta merampas lahan warga tanpa ganti rugi.
Era Orde Baru menjadi periode emas Indorayon, ketika pemerintah kerap memberikan perlindungan politik. Namun krisis 1998 mengubah situasi. Bentrokan warga dengan aparat pecah pada 1999–2000, termasuk penembakan mahasiswa Panuju Manurung dan Hermanto Sitorus.
Presiden BJ Habibie sempat menghentikan operasional sementara pada 19 Maret 1999, disusul keputusan Presiden Abdurrahman Wahid yang memerintahkan penutupan permanen pada 1 September 2000.
Perusahaan kemudian berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari (TPL), merumahkan sekitar 7.000 pekerja, serta melakukan restrukturisasi utang.
Pada Maret 2003, TPL kembali beroperasi dengan janji program tanggung jawab sosial (CSR) dan klaim ramah lingkungan. Namun konflik agraria terus membayangi. Tahun 2007, saham TPL mayoritas dipegang Pinnacle Company Pte Ltd yang masih terkait grup RGE milik keluarga Tanoto.
Konsesi dan Konflik Berkepanjangan
Sepanjang 2008–2020, TPL mengelola konsesi hutan tanaman industri (HTI) eukaliptus di Sumut seluas 167.912 hektare (setelah revisi).
Namun, setidaknya 25.000 hektare di antaranya tumpang tindih dengan wilayah adat masyarakat Batak. WALHI, AMAN Tano Batak, hingga KSPPM terus menyoroti dugaan perampasan tanah ulayat.
Data AMAN (2013–2021) mencatat sekitar 50 warga adat menjadi korban kekerasan atau kriminalisasi terkait konflik dengan TPL. Ketua MPR RI Bambang Soesatyo bahkan sempat mendesak pencabutan izin TPL pada 2021, namun hingga kini izin tetap berlaku.