POSMETRO MEDAN,Medan – Di balik suasana rapat yang tampak formal di Aula Mawar, Kantor Bupati Asahan, terselip kegelisahan kolektif atas tumpang tindih regulasi antara desa, kehutanan, dan tata lingkungan yang selama ini menghambat pembangunan berkelanjutan di Sumatera Utara.
Kunjungan kerja Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Sumatera Utara ke Kabupaten Asahan, Kamis (2/10/2025) lalu, bukan sekadar agenda seremonial pemerintahan. Kegiatan tersebut menjadi upaya konkret untuk menelisik akar persoalan tata kelola ruang hijau dan sinkronisasi peraturan daerah di provinsi ini.
Pertemuan itu mempertemukan berbagai instansi strategis, mulai dari Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Sumut, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Biro Hukum Setdaprovsu, hingga Bappeda.
Turut hadir unsur teknis di lapangan seperti UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah III, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Asahan-Barumun, DAS Wampu-Sei Ular, Balai Pemantapan Kawasan Hutan dan Tata Lingkungan, serta Balai Pengelolaan Hutan Lestari.
Ketua Bapemperda DPRD Sumut, Darma Putra Rangkuti, S.Hut., M.Si (Fraksi Golkar), memimpin langsung jalannya diskusi yang berlangsung intens. Ia didampingi sejumlah anggota lintas fraksi, antara lain Palacheta Subies Subianto (Golkar), Hasyim, SE, dan Meryl Rouli Sauli Saragih, SH, MH (PDI-Perjuangan); Dr. H. Aripay Tambunan, MM (Gerindra); Assoc. Prof. Dr. Usman Jakfar, LC, MA dan Ahmad Hadian, S.Pd.I, MAP (PKS); Ir. H. Yahdi Khoir Harahap, MBA (PAN); serta Ir. Loso Mena (PKB).
Dalam pertemuan yang juga dihadiri Sekretaris Daerah Kabupaten Asahan, Darma Putra menegaskan pentingnya sinkronisasi antarinstansi dalam penyusunan perda.
"Kami ingin memastikan setiap aturan daerah tidak hanya harmonis secara hukum, tapi juga berpihak pada keberlanjutan," ujarnya.
Menurutnya, banyak perda di bidang kehutanan dan lingkungan yang selama ini berhenti di atas kertas akibat lemahnya koordinasi lintas instansi.
Investigasi internal Bapemperda menemukan sejumlah persoalan mendasar, seperti penetapan batas kawasan hutan yang tumpang tindih dengan lahan desa, lemahnya sistem pelaporan di unit pelaksana teknis (UPT), serta kebijakan yang sering berbenturan antara dinas teknis dan pemerintah kabupaten.
Kondisi ini menyebabkan berbagai program konservasi hutan lindung tidak berjalan maksimal, sementara masyarakat desa di sekitar kawasan kehilangan hak pengelolaan yang sah. Sekretaris Dinas Kehutanan Sumut yang hadir dalam forum itu mengakui, salah satu kendala utama adalah perubahan data kawasan yang tidak selalu diikuti dengan revisi peraturan.